Anggota DPR RI 2019-2024
Data terkini per akhir Juli 2025 memaparkan disparitas harga beras yang mencolok dan tren kenaikan yang persisten, sebuah indikasi jelas akan inefisiensi dalam mekanisme transmisi pasokan dan harga di pasar.
Sebagai contoh krusial, harga beras medium di Kabupaten Intan Jaya, Papua, telah melonjak hingga Rp 54.772 per kilogram.
Sementara itu, di wilayah ekonomi strategis seperti Jawa, harga rata-rata berada di level Rp 14.536 per kilogram.
Angka-angka ini secara substansial melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) yang telah ditetapkan. Ironisnya, beras medium telah konsisten berada di atas HET selama lebih dari satu tahun, mengindikasikan ketidakmampuan regulasi untuk menahan laju inflasi komoditas pangan esensial ini.
Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa per Juli 2025, 219 kabupaten/kota di seluruh Indonesia mengalami kenaikan harga beras.
Di tingkat produsen, yakni penggilingan, beras premium dan medium masing-masing telah mengalami kenaikan signifikan sebesar 2,05% MoM dan 2,33% MoM pada Juni 2025.
Tren ini menegaskan bahwa tekanan harga bukan hanya fenomena di hilir, melainkan sudah berakar sejak level produksi.
Kondisi ini, mengingat kontribusi beras yang substansial—mencakup 5,20% dari pengeluaran keluarga dan melonjak hingga 25,87% untuk masyarakat miskin—serta tingkat konsumsi nasional yang hampir sempurna di angka 98,35%, secara langsung berdampak pada indeks kemiskinan dan stabilitas daya beli masyarakat Indonesia secara fundamental.
Sebagai respons kebijakan, pemerintah melalui Bulog telah mengimplementasikan program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) dengan target ambisius penyaluran 1,3 juta ton beras hingga akhir tahun.
Mekanisme distribusi SPHP telah dirancang dengan parameter ketat, mencakup pembatasan pembelian 10 kg per konsumen dan pelaporan transaksi melalui aplikasi Klik SPHP.
Desain ini bertujuan untuk meminimalisir potensi distorsi pasar dan praktik penyelewengan. Namun, data aktual di lapangan menunjukkan bahwa per akhir Juli 2025, hanya sekitar 30% atau 390.000 ton beras SPHP yang berhasil didistribusikan.
Angka ini jauh di bawah proyeksi untuk mencapai target kumulatif yang diperlukan guna menjenuhi pasar secara efektif dan meredam kenaikan harga.
Evaluasi mendalam di lapangan mengidentifikasi beberapa kendala krusial yang menghambat efektivitas intervensi ini.
Pertama, infrastruktur yang terbatas di wilayah terpencil, khususnya di Papua, menciptakan tantangan logistik signifikan yang membatasi jangkauan distribusi SPHP, meskipun telah didukung oleh unsur TNI AU dan Satgas Pangan.
Kedua, birokrasi prosedural yang rigid, seperti persyaratan identifikasi pembeli melalui KTP dan surat pernyataan pengecer, terbukti memperlambat alur distribusi dan justru menciptakan disinsentif bagi pengecer skala kecil untuk berpartisipasi aktif dalam program ini.
Indikasi Moral Hazard dan Optimalisasi Stok
Lebih lanjut, temuan di lapangan juga mengindikasikan adanya moral hazard dan penyimpangan serius dalam rantai pasok yang memperparah situasi.
Praktik pengoplosan beras, di mana beras kualitas rendah dijual sebagai beras premium, telah teridentifikasi dan berpotensi merugikan konsumen serta negara dalam skala masif.
Perintah Presiden kepada Polri dan Jaksa Agung untuk menindak tegas pelaku perlu diimplementasikan secara konsisten dan tanpa kompromi untuk menciptakan efek jera.
Selain itu, penemuan penjualan beras SPHP di platform e-commerce seperti Shopee, TikTok, dan Tokopedia, menjadi bukti adanya celah signifikan dalam sistem pengawasan distribusi resmi Bulog.
Hal ini tidak hanya mereduksi efektivitas intervensi, tetapi juga secara terang-terangan memfasilitasi praktik spekulasi yang merugikan masyarakat.
Situasi ini menjadi semakin kompleks mengingat Cadangan Beras Pemerintah (CBP) Bulog saat ini mencapai rekor tertinggi, yaitu 4,2 juta ton per pertengahan 2025, dengan potensi peningkatan hingga 5 juta ton pasca-panen Agustus.
Stok yang melimpah ini seharusnya menjadi instrumen strategis yang sangat ampuh untuk stabilisasi harga di pasar.
Namun, ironisnya, proporsi signifikan dari stok tersebut telah melampaui batas optimal penyimpanan empat bulan yang direkomendasikan.
Kondisi ini tidak hanya menimbulkan risiko logistik dan degradasi kualitas beras, melainkan juga menciptakan beban biaya pemeliharaan yang tidak efisien bagi keuangan negara.
Berdasarkan analisis data dan temuan lapangan yang komprehensif, diperlukan rekalibrasi strategis dalam pendekatan stabilisasi harga beras.
Pertama, pemerintah harus mengakselerasi penyaluran beras SPHP secara masif dan tanpa hambatan volume.
Mekanisme distribusi harus direformasi agar lebih fleksibel dan adaptif, memungkinkan akses yang lebih luas bagi pedagang dan pengecer, alih-alih hanya berfokus pada konsumen akhir.
Konsep "menjenuhi pasar" harus diinterpretasikan sebagai pelepasan stok secara agresif dan proaktif untuk menekan spekulasi.
Kedua, perlu dilakukan evaluasi ulang prosedur operasional standar (SOP) penyaluran SPHP untuk mereduksi birokrasi yang terbukti memperlambat distribusi.
Investasi pada infrastruktur logistik yang memadai di daerah terpencil juga menjadi imperatif.
Terakhir, tindakan tegas terhadap praktik oplosan dan penjualan ilegal SPHP di platform daring harus menjadi prioritas utama.
Sistem pengawasan digital dan kolaborasi lintas sektor perlu ditingkatkan untuk memutus mata rantai penyimpangan yang merugikan rakyat.
Efektivitas intervensi pemerintah dalam stabilisasi harga beras akan ditentukan oleh kemampuannya untuk mengeliminasi hambatan prosedural, mengoptimalkan kapasitas logistik, dan menegakkan disiplin pasar secara tegas dan tanpa kompromi.
Kegagalan dalam hal ini akan berdampak langsung pada stabilitas ekonomi makro dan kesejahteraan fundamental masyarakat Indonesia.