Jakarta, infoDKJ.com | Kamis, 14 Agustus 2025
Oleh: Ahmad Hariyansyah
Fitnah adalah ujian berat yang bisa menimpa siapa saja. Bentuknya beragam: tuduhan dusta, penggiringan opini negatif, hingga penghancuran nama baik. Dalam Islam, fitnah termasuk kemungkaran besar yang harus diwaspadai.
Pertanyaannya, jika kita menjadi korban fitnah, apakah diam adalah pilihan bijak? Atau justru kita harus bersuara? Dalam fikih dan tasawuf, ada panduan yang seimbang untuk menyikapinya.
1. Fitnah, Kemungkaran yang Besar
Allah menegaskan bahwa fitnah lebih kejam daripada pembunuhan:
"Dan fitnah itu lebih besar (dosanya) daripada pembunuhan."
(QS. Al-Baqarah: 191)
Fitnah adalah bentuk kezaliman, dan setiap bentuk kezaliman diharamkan dalam Islam. Rasulullah ï·º bersabda:
"Barang siapa yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman."
(HR. Muslim)
2. Pandangan Fikih: Diam atau Menjawab?
Dalam fikih, sikap menghadapi fitnah bergantung pada kemampuan dan pertimbangan maslahat:
- Jika klarifikasi membawa kebaikan dan menghilangkan mudarat, maka dianjurkan untuk melakukannya.
- Jika membantah justru memicu kerusakan lebih besar, diam lebih selamat.
Para ulama menjelaskan bahwa membantah fitnah adalah bagian dari menegakkan keadilan, namun tidak semua fitnah harus direspons secara frontal.
3. Pandangan Tasawuf: Diam Bukan Lemah, Tapi Tawakal
Dalam tasawuf, diam dalam menghadapi fitnah bukan berarti menyerah, tetapi menyerahkan urusan kepada Allah. Para sufi mengajarkan untuk tidak tergesa-gesa membela diri, melainkan menguatkan hati dengan dzikir, sabar, dan introspeksi diri.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyebutkan:
"Seseorang yang dizalimi dan ia diam karena Allah, maka Allah-lah yang akan membela kehormatannya."
Nabi Muhammad ï·º sendiri pernah difitnah sebagai penyihir, pendusta, bahkan gila. Namun beliau tetap bersabar, menyerahkan urusan kepada Allah, dan akhirnya kebenaran datang dengan sendirinya.
4. Cara Mencegah Kemungkaran Fitnah
- Menjaga lisan dan tidak ikut menyebarkan fitnah
- Mendoakan pelaku fitnah agar diberi hidayah
- Mengklarifikasi dengan bijak jika membawa maslahat
- Menampakkan akhlak mulia, karena akhlak adalah pembela terbaik
- Memperbanyak amal saleh, karena pertolongan Allah dekat bagi orang yang sabar
5. Kapan Harus Bersikap Tegas?
Jika fitnah mengancam jiwa, keluarga, atau umat, maka wajib membantah dengan tegas dan terukur. Namun sikap tegas harus tetap dibarengi hikmah, tanpa menebar kebencian.
Kesimpulan
Diam dalam menghadapi fitnah tidak selalu berarti lemah. Dalam perspektif Islam, itu bisa menjadi kebijakan ruhani yang menunjukkan kesabaran dan tawakal.
Mencegah kemungkaran adalah kewajiban, tetapi dilakukan dengan ilmu, pertimbangan maslahat, dan hati yang bersih. Allah Maha Mengetahui siapa yang berada di pihak kebenaran.
"Dan cukuplah Allah sebagai penolong bagi kita."
(QS. An-Nisa: 45)