Jakarta, infoDKJ.com | Kamis, 28 Agustus 2025
Oleh: Ahmad Hariyansyah
Dalam perjalanan mendidik, seorang guru tidak hanya berperan sebagai penyampai ilmu, tetapi juga sebagai penuntun menuju kebaikan. Namun, tak jarang rasa lelah dan gundah menyapa, terutama ketika murid belum juga memahami pelajaran meski sudah diajarkan berulang kali.
Kisah seorang guru mengaji ini bisa menjadi cermin. Ia telah berupaya dengan segenap kemampuan: mengoreksi kesalahan bacaan Al-Qur’an, memandu pengucapan sesuai tajwid, hingga mengulang halaman yang sama berkali-kali. Namun, kesalahan yang sama tetap muncul.
Pertanyaan pun terlintas di hatinya: “Apakah ini karena daya tangkap murid yang lemah, daya ingat yang kurang, atau ada sebab lain?”
Keinginannya sederhana, agar murid-murid bisa segera fasih membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar.
Saat hatinya resah, ia berdoa memohon petunjuk kepada Allah. Tak lama kemudian, seakan mendapat jawaban, seorang sahabat mengirimkan pesan berisi nasihat ulama besar, KH. Maimun Zubair (Mbah Moen):
“Jadi guru itu tidak usah punya niat bikin pintar orang. Nanti kamu hanya marah-marah ketika melihat muridmu tidak pintar. Ikhlasnya jadi hilang. Yang penting niat menyampaikan ilmu dan mendidik yang baik. Masalah muridmu kelak jadi pintar atau tidak, serahkan kepada Allah. Didoakan saja terus menerus agar muridnya mendapat hidayah.”
Nasihat tersebut membuat hatinya tenang. Ia pun sadar, tugas seorang guru hanyalah menyampaikan ilmu dengan cara yang baik, penuh kesabaran, dan keikhlasan. Adapun hasilnya, sepenuhnya hak prerogatif Allah.
Landasan dari Al-Qur’an
Allah ï·» berfirman:
“Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.”
(QS. An-Nahl: 35)
Ayat ini mengingatkan bahwa tugas utama seorang guru adalah tabligh (menyampaikan), bukan memastikan hasil. Hidayah dan pemahaman adalah milik Allah semata.
Allah ï·» juga berfirman:
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.”
(QS. Al-Qashash: 56)
Sehebat apa pun metode mengajar, jika Allah belum memberikan taufik dan hidayah, hasilnya belum tampak. Namun, dengan doa yang tulus, Allah mampu membuka hati murid kapan saja Dia kehendaki.
Tuntunan dari Hadits
Rasulullah ï·º bersabda:
“Barang siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengamalkannya.”
(HR. Muslim, no. 1893)
Mengajarkan Al-Qur’an adalah amal kebaikan yang pahalanya terus mengalir, bahkan meski murid belum sempurna menguasainya. Jika suatu saat murid berhasil, pahala guru akan terus bertambah tanpa berkurang sedikit pun.
Rasulullah ï·º juga bersabda:
“Sampaikanlah dariku walau satu ayat.”
(HR. Bukhari, no. 3461)
Hadits ini menegaskan, tugas guru adalah menyampaikan ilmu sedikit demi sedikit, bukan menuntut murid langsung pintar. Yang penting, dilakukan dengan sabar dan disertai doa.
Pelajaran yang Dapat Dipetik
- Ikhlas dalam mengajar – Niatkan semata-mata mencari ridha Allah, bukan sekadar mengejar hasil.
- Sabar menghadapi perbedaan kemampuan murid – Setiap murid memiliki daya tangkap berbeda.
- Doa sebagai senjata utama – Mohonlah kepada Allah agar murid diberi taufik dan hidayah.
- Serahkan hasil kepada Allah – Tugas guru hanya berusaha sebaik mungkin, hasilnya Allah yang tentukan.
Penutup
Mengajar adalah ladang amal jariyah. Setiap huruf Al-Qur’an yang dibaca murid akan menjadi pahala bagi gurunya. Namun, agar pahala itu sempurna, keikhlasan harus tetap terjaga. Jangan biarkan rasa kecewa atau marah menggerus niat mulia tersebut.
Sebagaimana pepatah ulama:
“Tugasmu hanyalah menanam, dan Allah-lah yang menumbuhkan.”
Semoga Allah menjadikan para guru sebagai perantara hidayah bagi murid-muridnya, dan menjadikan murid-murid tersebut generasi yang mencintai Al-Qur’an serta mengamalkannya.