Oleh: Ahmad Hariyansyah
Di suatu pagi yang hening di sebuah desa, saya menyaksikan pemandangan sederhana namun sarat makna. Seorang pria tua tengah menyapu gang kecil sepanjang kurang lebih seratus meter, berkelok ke kanan dan kiri. Sapu lidi yang digunakannya sudah tak sempurna—pendek sebelah dan usang. Namun, geraknya mantap, membersihkan daun-daun kering, kertas, hingga sampah plastik yang tersangkut di selokan.
Keesokan paginya, pemandangan serupa kembali terlihat. Dan keesokan harinya lagi, ia tetap hadir dengan semangat yang sama. Hati saya pun terusik. Siapakah sosok ini? Apa yang mendorongnya? Akhirnya, saya memberanikan diri menyapanya.
“Pak… maaf Pak,” ucap saya membuka percakapan.
“Ya, Dek, ada apa?” jawabnya lembut.
“Apakah Bapak membersihkan jalan dan selokan ini karena ada yang menyuruh?”
Ia menggeleng pelan. “Tidak ada.”
“Apakah ada orang yang memberi imbalan kepada Bapak?”
Ia kembali menggeleng. “Tidak juga.”
“Lantas, apakah Bapak tidak merasa malu atau jijik membersihkan kotoran dengan tangan sendiri?”
Senyumnya mengembang. “Tidak, Dek. Justru dari sinilah hati saya tenang.”
Ia lalu bercerita bahwa semua itu berawal dari nasihat gurunya dahulu:
“Berbuat baiklah di mana pun kamu berada. Lakukanlah apa saja yang bermanfaat bagi orang lain.”
Sang guru kemudian membacakan hadits Nabi Muhammad SAW:
"Khairunnaas anfa’uhum linnaas" — Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama manusia (HR. Ahmad, Thabrani, dan Daruquthni).
Hadits itu menjadi kompas hidupnya. Tanpa berharap pujian, tanpa pamrih dunia, ia istiqamah menebar manfaat dari hal-hal sederhana: menjaga kebersihan, memperindah lingkungan, dan menghadirkan kenyamanan bagi sesama warga.
Baginya, amal saleh tidak harus besar. Tidak selalu berbentuk ceramah, pembangunan masjid, atau infak berjuta-juta. Kadang, sapu lidi dan tangan yang rela kotor adalah bentuk ibadah yang tulus. Ia menghidupkan makna sabda Rasulullah SAW lainnya: "An-nazhaafatu minal iman" — kebersihan adalah bagian dari iman.
Dari pria tua itu, saya belajar bahwa agama bukan semata-mata soal ritual pribadi. Ibadah bukan hanya shalat panjang, puasa, atau dzikir yang lama. Ibadah sejati adalah ketika kehadiran kita membawa kebaikan bagi sekitar. Ketika tangan kita, meski keriput dan lelah, menjadi sarana Allah menurunkan rahmat-Nya ke bumi.
Pria tua itu bukan tokoh besar, bukan ustaz terkenal, dan tak banyak dikenal orang. Namun lewat sapu lidinya, ia menjadi teladan. Ia mengajarkan bahwa menjadi manusia terbaik bukan soal jabatan, ilmu tinggi, atau suara lantang di forum. Melainkan tentang ketulusan memberi manfaat—sekecil apapun itu.
Dan dari gang kecil itulah saya belajar bahwa jalan menuju surga, terkadang dimulai dari niat membersihkan jalan dunia.