Jakarta, infoDKJ.com | Jum'at, 15 Agustus 2025
Oleh: Ahmad Hariyansyah
“Jang... ulah cicing bae, sing aya tapak silaing.”
Kalimat sederhana dalam bahasa Sunda ini berarti: “Nak, jangan hanya diam, biarlah ada jejakmu.”
Namun di balik kesederhanaannya, tersimpan pesan kehidupan yang dalam—tentang pentingnya hadir dan memberi kontribusi dalam kehidupan sosial.
Kakek itu bukan sekadar memberi nasihat, melainkan menanamkan nilai. Ia ingin cucunya memahami bahwa menjadi manusia bukan hanya soal hadir, tapi meninggalkan tapak—jejak amal, walau kecil nilainya. Menyuguhkan segelas kopi pada orang yang berteduh di teras rumah karena hujan pun bisa menjadi ladang pahala, jika diniatkan dengan ikhlas. Ini bukan soal besar atau kecilnya bantuan, melainkan soal adanya kepedulian.
Hidup Harus Memberi Arti
Dalam Islam, semangat untuk memberi, membantu, dan peduli adalah bagian dari akhlak mulia. Rasulullah ï·º bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”
(HR. Ahmad)
Hadis ini mengajarkan bahwa keberadaan kita seharusnya membawa manfaat. Jangan sampai hidup berjalan tanpa bekas, tanpa jejak, tanpa makna. Bahkan dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan:
"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar zarrah, niscaya dia akan melihat (balasannya)."
(QS. Az-Zalzalah: 7)
Tidak ada kebaikan yang sia-sia, bahkan sebesar zarrah (atom) pun tetap tercatat. Memberikan segelas air pada orang yang kehausan, atau membantu mengangkat barang seseorang yang kepayahan, adalah jejak amal yang mulia.
Menjadi Manusia yang Hadir
Dalam kehidupan, ada dua tipe manusia: yang hanya menjadi penonton, dan yang ikut menanamkan jejak. Pesan kakek itu mengajak untuk menjadi tipe kedua—ikut membantu, meski hanya dengan hal kecil.
Rasulullah ï·º bersabda:
“Jangan remehkan kebaikan sekecil apa pun, sekalipun hanya engkau tersenyum kepada saudaramu.”
(HR. Muslim)
Jika tersenyum saja bernilai amal, apalagi bila kita meringankan beban orang lain atau hadir di saat mereka membutuhkan.
Menjadi Umat yang Peduli
Islam adalah agama kepedulian—puncak dari iman sosial. Rasulullah ï·º bersabda:
"Tidak beriman seseorang dari kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri."
(HR. Bukhari & Muslim)
Tauhid sosial ini sederhana: iman sejati harus terwujud dalam kepedulian nyata. Kehadiran kita harus terasa di lingkungan sekitar, bukan untuk dipuji, melainkan sebagai bentuk pengabdian kepada Allah dan kasih sayang terhadap sesama makhluk-Nya.
Penutup
Jejak kebaikan bukan hanya pada bangunan megah atau jabatan tinggi, tetapi pada tindakan kecil yang ikhlas—dalam doa orang yang terbantu, dalam senyum mereka yang merasa ditemani. Di situlah nama kita akan dikenang, lebih dari sekadar tulisan di batu nisan.
Maka, mari kita tinggalkan jejak. Seperti pesan bijak sang kakek:
"Jang... ulah cicing bae, sing aya tapak silaing."
Jadilah manusia yang hadir—dengan hati, tangan, dan amal.