Meski dibombardir, dilaparkan, dan diusir paksa, rakyat Palestina tetap bertahan di tanah suci demi iman, martabat, dan Al-Aqsa.
Oleh: Fahmi Salim
Direktur Baitul Maqdis Institute
Beberapa hari terakhir, saya berkesempatan membersamai tokoh nasional Palestina, Dr. Mustafa Bargouti, yang berkunjung ke Indonesia pada 30 Agustus–6 September 2025. Selama di Indonesia, ia menjalani agenda padat: bertemu aktivis kemanusiaan Palestina, pejabat tinggi negara eksekutif maupun legislatif, para pemimpin ormas Islam, hingga ketua partai politik. Puncaknya adalah konferensi pers di Hotel Sofyan Menteng, Jakarta.
Ia membawa satu pesan utama yang mengguncang hati:
“Wahai pemimpin dan rakyat Indonesia, bantu sumud kami rakyat Palestina di negeri kami. Kami tak sudi keluar dari tanah kami dengan dalih apa pun!”
The Secret of Sumud: Mengapa Palestina Tidak Pernah Menyerah
Saat Gaza luluh lantak oleh 145.000 ton bom—setara delapan kali bom atom Nagasaki-Hiroshima—saat Tepi Barat dicekik tembok pemisah dan pemukiman ilegal Yahudi, dan Yerusalem dikepung penggusuran serta yahudisasi, dunia sering bertanya-tanya:
“Mengapa rakyat Palestina tidak pergi saja? Mengapa mereka tetap bertahan di tanah yang setiap hari dilanda maut?”
Jawabannya ada pada satu kata: sumud. Dalam bahasa Arab, sumud berarti keteguhan, ketabahan, dan ketegaran. Bagi rakyat Palestina, sumud bukan sekadar sikap mental, melainkan falsafah hidup, strategi perlawanan, sekaligus rahasia keberlangsungan mereka.
Bertahan Adalah Amanah, Bukan Pilihan
Bagi Palestina, tanah bukan sekadar tanah air, tetapi tanah suci. Di sanalah berdiri Masjid al-Aqsa, kiblat pertama umat Islam. Mereka yakin akan firman Allah:
“Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya.”
(QS. Al-Isra’: 1)
Karena itu, bertahan di Gaza, Nablus, Hebron, atau Yerusalem bukan semata urusan nasionalisme, melainkan juga ibadah. Menjaga tanah berarti menjaga amanah Al-Qur’an.
Martabat Lebih Tinggi daripada Kenyamanan
Sejak tragedi Nakbah 1948, rakyat Palestina belajar satu hal: siapa yang terusir akan menjadi pengungsi abadi. Sebaliknya, siapa yang bertahan, meski di bawah puing-puing, tetap memiliki hak atas tanahnya.
Banyak keluarga lebih memilih tinggal di reruntuhan rumah ketimbang pindah ke kamp pengungsian. Seorang ibu di Gaza pernah berkata:
“Kami bisa hidup tanpa listrik, tanpa makanan, bahkan tanpa rumah. Tapi kami tidak bisa hidup tanpa tanah kami.”
Inilah inti sumud: martabat lebih tinggi daripada kenyamanan.
Budaya yang Menjadi Senjata
Sumud bukan hanya sikap individu, melainkan budaya kolektif. Lagu perjuangan, puisi Mahmoud Darwish, mural di tembok Gaza, hingga aroma roti za’atar—semuanya adalah bentuk perlawanan sunyi.
Anak-anak Palestina tumbuh dengan pesan: “Jangan tinggalkan tanah ini, walau sejengkal.” Dengan begitu, sumud diwariskan lintas generasi sebagai identitas nasional dan spiritual.
Harapan Kemenangan
Rakyat Palestina yakin penjajahan tidak abadi. Inggris akhirnya pergi dari India, Prancis hengkang dari Aljazair, Belanda meninggalkan Indonesia. Maka Israel pun suatu hari akan pergi.
Keyakinan ini diteguhkan sabda Nabi ï·º:
“Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang menegakkan kebenaran. Tidak membahayakan mereka orang-orang yang menentang mereka, hingga datang keputusan Allah.”
(HR. Muslim)
Mereka percaya penderitaan hari ini adalah investasi bagi kemerdekaan anak cucu mereka.
Penutup
The Secret of Sumud adalah rahasia mengapa Palestina tidak pernah padam dari peta sejarah. Mereka bisa kehilangan rumah, tetapi tidak kehilangan tanah. Mereka bisa kehilangan keluarga, tetapi tidak kehilangan harapan.
Dunia boleh terus bertanya: “Mengapa mereka tidak menyerah?”
Rakyat Palestina menjawab dengan tegas:
“Karena inilah tanah kami. Karena di sini ada Al-Aqsa. Karena di sini Allah menguji cinta kami kepada-Nya.”
Dan dengan sumud itulah, Palestina mengajarkan kepada dunia bahwa ada hal-hal yang lebih berharga daripada hidup nyaman—yaitu iman, martabat, dan tanah air.
Terima kasih Dr. Mustafa Bargouti, karena telah datang ke negeri kami di tengah hiruk-pikuk Jakarta, membawa dan menyebarkan spirit sumud kepada bangsa Indonesia.
Jakarta, Sabtu (6 September 2025)
