Jakarta, infoDKJ.com | Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kembali menjadi sorotan di tengah konflik internal dan tarik-menarik menjelang muktamar. Calon Ketua Umum PPP, Prof. Husnan Bey Fananie, menegaskan bahwa satu-satunya jalan penyelamatan partai berlambang Ka'bah itu adalah dengan mengembalikan PPP ke khitah fusi 1973.
PPP lahir pada 5 Januari 1973 sebagai hasil penyatuan empat kekuatan Islam: NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Fusi tersebut menjadi tonggak sejarah politik Islam Indonesia karena menyatukan aspirasi umat dalam wadah perjuangan nasional.
Namun, menurut Prof. Husnan, kini PPP sedang mengalami krisis identitas dan kepemimpinan. Konflik internal, dualisme, hingga dominasi segelintir elite dianggap telah menjauhkan partai dari semangat kolektif yang menjadi dasar kelahirannya.
“PPP ini bukan milik segelintir elite, bukan pula warisan untuk diperebutkan kelompok tertentu. PPP adalah amanah sejarah umat Islam Indonesia. Jika kita mengkhianati semangat fusi 1973, maka kita sedang mengkhianati umat,” tegas Prof. Husnan di Jakarta, Minggu (28/9/2025).
Ia menyerukan agar muktamar mendatang dijadikan momentum rekonsiliasi, bukan ajang pertarungan kepentingan. “Gunakan muktamar bukan untuk bertarung, tapi untuk bersatu. Jangan pilih pemimpin karena kepentingan sesaat, pilihlah pemimpin dengan nurani yang tulus,” ujarnya.
Lebih jauh, Prof. Husnan meminta Presiden Prabowo Subianto sebagai kepala negara sekaligus pembina politik nasional ikut memberi masukan agar konflik di tubuh PPP tidak berlarut.
“PPP adalah warisan umat dan bangsa, bukan milik elite tertentu. Pemerintah harus hadir dengan solusi terbaik agar PPP tidak kehilangan marwahnya,” kata Husnan.
Ia menutup pernyataannya dengan peringatan keras:
“PPP akan besar jika kembali ke khitah. Jika fusi 1973 kita lupakan, PPP hanya akan menjadi sejarah. Tapi jika kita rawat, insya Allah PPP akan menjadi masa depan umat.
(Adang)