Jakarta, infoDKJ.com | Selasa, 9 Juli 2025
Pada masa Hindia Belanda, Batavia tidak hanya dikenal sebagai pusat pemerintahan kolonial, tetapi juga sebagai kota yang menyimpan berbagai kisah jalanan yang penuh warna. Salah satu tokoh yang paling legendaris kala itu adalah Amat, yang dikenal dengan julukan Amat "Kocolan".
Julukan Kocolan, yang berarti ikan gabus, disematkan kepadanya karena sifatnya yang sangat licin—sulit ditangkap dan selalu berhasil lolos dari kejaran aparat, layaknya ikan gabus yang sulit digenggam saat ditangkap. Ia menjadi momok bagi aparat kolonial dan dikenal luas di kalangan warga Betawi dan etnis lainnya di Batavia.
Raja Gangster yang Ditakuti dan Dihormati
Keberanian dan kecerdikannya membuat namanya tersebar hingga ke berbagai surat kabar berbahasa Belanda. Dalam edisi De Locomotief tanggal 4 Juni 1936 dan De Sumatra Post pada 6 Juni 1936, Amat Kocolan bahkan dijuluki sebagai "raja gangster" Batavia. Ia digambarkan sebagai sosok yang gesit, penuh taktik, dan nyaris tak tersentuh oleh hukum.
Kepada seorang wartawan pada tahun 1936, Amat pernah blak-blakan membahas tarif “jasanya” dalam dunia kekerasan. Ketika ditanya tentang kabar bahwa ia dibayar 15 gulden untuk menghabisi seseorang, Amat menjawab ringan, “Wah, betul! Dengan lima belas gulden, telinga orang itu bisa saya kirim ke rumahnya!”
Namun, ia juga menambahkan bahwa harga itu sudah berlaku di masa lalu. Zaman berubah, katanya, dan di tahun 1936, harga untuk membunuh seseorang justru menurun. “Sekarang ini cukup sepuluh gulden saja,” ucapnya sambil tertawa.
Dibekali Jimat dan Senjata Api
Meskipun dikenal sebagai sosok berbahaya, Amat Kocolan tak pernah benar-benar terjerat kasus besar. Ia selalu berhasil lolos dari pengadilan dan penjara, membuatnya semakin disegani sekaligus ditakuti.
Ketika ditanya rahasia keselamatannya dalam setiap aksi, Amat mengungkapkan bahwa ia memiliki “isian bagus di pipi kanan”. Yang dimaksudnya adalah jimat sakti, semacam susuk atau rajah, yang menurut kepercayaannya membuatnya kebal terhadap rasa sakit dan menghindarkannya dari bahaya. Konon, jimat itu tak hanya bersifat fisik, tetapi juga memberi pengaruh magis dalam memanipulasi keadaan agar selalu menguntungkannya.
Berbeda dengan jagoan Betawi lainnya yang kerap menggunakan golok, Amat memilih senjata api jenis revolver, yang oleh masyarakat Betawi dijuluki sebagai beceng. Bukan sembarang senjata, revolver yang digunakannya adalah jenis klasik dengan silinder putar—mirip senjata para koboi Amerika.
Pasar Gelap Senjata di Tanjung Priok
Amat juga tak segan berbicara tentang asal usul senjatanya. Ia menyebut pelabuhan Tanjung Priok sebagai pusat peredaran senjata api ilegal. Menurutnya, selama pelabuhan itu beroperasi, senjata api akan terus beredar di kalangan masyarakat bawah.
"Selama Priok ada, selama itu juga revolver dan pistol akan terus beredar! Banyak makelar di sana. Para pelaut dan orang Tionghoa juga menjualnya," kata Amat tanpa tedeng aling-aling.
Harga sepucuk revolver kala itu berkisar antara 25 hingga 60 gulden, tergantung dari kondisi dan kualitas senjata tersebut. Angka itu bukan jumlah kecil, tetapi di dunia gelap Batavia, senjata adalah kebutuhan utama bagi para jagoan.
Warisan Urban dan Ingatan Kolektif
Kisah Amat Kocolan adalah bagian dari sejarah kelam namun menarik tentang Batavia di era kolonial. Ia bukan hanya simbol perlawanan jalanan, tetapi juga representasi dari ketimpangan sosial yang kala itu membuat masyarakat terpinggirkan mencari “keadilan” dengan caranya sendiri.
Meski namanya tak tercatat dalam buku sejarah resmi, keberadaan Amat Kocolan tetap hidup dalam ingatan kolektif warga Betawi dan menjadi legenda urban yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Foto: Amat Kocolan, sekitar tahun 1930-an. Arsip tak resmi koleksi keluarga Betawi.
(Adang)