Fenomena penonaktifan anggota DPR baru-baru ini, seperti Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, dan Uya Kuya, menjadi sorotan tajam publik. Status nonaktif ini menimbulkan tanda tanya besar karena sejatinya tidak dikenal dalam undang-undang maupun tata tertib DPR. Artinya, ini hanyalah kebijakan sementara yang dibuat partai untuk meredam gejolak publik. NasDem, misalnya, menonaktifkan Sahroni dan Nafa Urbach setelah keduanya memicu kontroversi Sahroni menyebut gagasan pembubaran DPR sebagai “ide tolol”, sementara Nafa mendukung kenaikan tunjangan sebesar Rp50 juta yang langsung memicu kemarahan masyarakat. PAN pun mengambil langkah serupa terhadap Eko Patrio dan Uya Kuya setelah aksi berjoget mereka di Sidang Tahunan MPR dianggap tidak pantas.
Meski begitu, ada paradoks walau berstatus nonaktif, keempatnya tetap menerima gaji dan tunjangan karena aturan formal tidak mengenal istilah tersebut. Di sinilah terjadi benturan antara logika politik partai dan legitimasi hukum negara. Dalam praktiknya, nonaktif ini ibarat “setengah PAW” anggota DPR tak bekerja penuh, tapi hak dan kursinya masih melekat. Situasi ini membuat publik bertanya: apa sebenarnya makna nonaktif? Apakah sekadar strategi politik sesaat, atau memang perlu diatur secara hukum?
Dari kacamata teori politik, langkah ini menunjukkan lemahnya desain kelembagaan kita. Wakil rakyat sejatinya adalah representasi masyarakat, bukan sekadar instrumen partai. Jika status nonaktif bisa dicabut dan anggota dipulihkan tanpa mekanisme jelas, legitimasi DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat justru semakin runtuh. Karena itu, perlu ada reformasi hukum politik apakah dengan menambahkan kategori nonaktif sementara yang jelas mekanismenya, menegaskan bahwa nonaktif hanya sah bila menuju PAW, atau memperkuat posisi DPR agar tak sepenuhnya dikendalikan partai.
Kasus ini seharusnya menjadi alarm keras. Demokrasi kita jangan berhenti pada formalitas prosedural atau sekadar kosmetik politik. Demokrasi harus naik kelas, menjadi demokrasi yang substantif, fungsional, dan benar-benar bekerja untuk rakyat. Penonaktifan Sahroni, Nafa, Eko, dan Uya bukan sekadar drama politik, tetapi cermin bahwa kita perlu membenahi sistem agar wakil rakyat benar-benar layak disebut sebagai wakil rakyat.