Jakarta, infoDKJ.com | Selasa, 25 November 2025
Angin segar berembus dari Ancol, Jakarta Utara. Dalam Musyawarah Nasional (Munas) ke-XI, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan sebuah fatwa yang dinilai sangat pro-rakyat.
Pada Sabtu, 22 November 2025, Ketua Bidang Fatwa MUI, KH Asrorun Ni’am Sholeh, mengumumkan fatwa penting: haram hukumnya bagi pemerintah memungut pajak atas barang kebutuhan pokok (primer) dan konsumtif dasar rakyat.
MUI menyebut konsep ini sebagai “Pajak Berkeadilan”, yaitu penegasan bahwa negara tidak boleh membebani rakyat dengan pajak atas kebutuhan yang bersifat dharuriyat—kebutuhan untuk mempertahankan hidup.
Berikut poin-poin yang menjadi sorotan publik:
1. Sembako Bebas Pajak
Barang konsumtif yang tergolong kebutuhan primer—seperti sembako—haram dikenai pajak.
(Jadi, tidak ada lagi wacana PPN untuk beras, telur, dan kebutuhan pokok lain.)
2. Rumah Huni Bebas Pajak Berulang
Ini dianggap sebagai poin paling menarik.
Rumah atau tanah yang dihuni sendiri (non-komersial) tidak boleh dikenakan pajak berulang, seperti PBB tahunan yang cenderung naik setiap tahun.
Alasannya jelas:
“Karena pada hakikatnya ia tidak berkembang atau menghasilkan uang,”
— KH Asrorun Ni’am Sholeh
3. Siapa yang Boleh Dipajaki?
MUI menegaskan bahwa tidak semua warga boleh dikenai pajak.
Syaratnya, seseorang harus memiliki kemampuan finansial minimal setara nisab zakat mal, yaitu 85 gram emas.
Jika harta berada di bawah nilai tersebut, menurut fatwa MUI, orang tersebut seharusnya tidak dipungut pajak.
Pajak hanya boleh dikenakan pada:
- Harta yang berpotensi produktif
- Kebutuhan sekunder dan tersier
- Barang mewah atau hiburan
Bukan pada kebutuhan pokok rakyat.
4. Zakat sebagai Pengurang Pajak
MUI juga mengusulkan kebijakan baru yang dinilai lebih adil bagi umat Islam:
“Zakat yang sudah dibayarkan oleh umat Islam menjadi pengurang kewajiban pajak,”
— KH Asrorun Ni’am Sholeh
Ini disebut sebagai konsep “keadilan partisipatif”.
Artinya, jika seseorang sudah membayar zakat (berkontribusi langsung kepada yang membutuhkan), maka beban pajaknya kepada negara seharusnya berkurang—bukan malah dikenai biaya ganda (double charge).
5. Peringatan MUI untuk Pemerintah
MUI menegaskan bahwa hubungan rakyat dan penguasa harus saling menyejahterakan. Pajak bukan alat penindasan, tetapi instrumen untuk kemaslahatan.
Karena itu, MUI memberi peringatan tegas:
Jika pemerintah tetap memungut pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan syariah dalam fatwa ini—misalnya memajaki orang miskin atau menarik pajak atas sembako—maka pemungutan tersebut berstatus haram.
Fatwa ini menjadi sorotan nasional dan memunculkan tantangan tersendiri bagi pembuat kebijakan, termasuk Menteri Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak, dalam menyesuaikan kebijakan fiskal dengan prinsip keadilan yang difatwakan MUI.


